berita kacanginka
Pernahkah Anda merasa menjadi penasihat emosional tanpa disengaja di antara grup orang? Bisa jadi Anda sahabat yang senantiasa bersedia mengambil beban kekecewaan temannya, kolega kerja yang lembur untuk meringankan tekanan rekan sekerjanya, atau anggota keluarga yang selalu mencoba menyelaraskan perselisihan saat mereka pecah.
Sebenarnya, individu yang menganggap diri mereka bertanggung jawab terhadap emosi orang lain cenderung membawa beban yang lumayan berat. Menurut artikel di situs web DMNews pada hari Jumat (18/04), ada delapan jenis bebannya pikiran umumnya dialami oleh tipe manusia tersebut.
1. Perasaan bersalah yang terus berlanjut
Pernahkah kau bangun di tengah malam, merenung tentang pembicaraanmu dengan seseorang yang kelihatan agak beda daripada kebiasaan mereka, kemudian mulai bersalah dan bertanya-tanya apakah ada kesalahan dalam perkataan atau tindakanmu?
Rasanya lelah memiliki rasa bersalah semacam itu. Sepertinya setiap kejadian negatif dihidup orang lain merupakan salahmu. Ironisnya, mereka jarang mengakui adanya pengaruh dari luar. Otomatis kita jadi menyimpan kesalahan pada diri sendiri. Begitu lingkaran ini berputar, akan susah bagi kita untuk meloloskan diri darinya.
2. Kelelahan emosional
Saat Anda secara konstan peka terhadap fluktuasi emosi orang lain, tak usah kaget jika Anda mengalami kelelahan mental yang ekstrem. Ini mirip dengan berada dalam posisi di mana Anda harus senantiasa menyediakan kata-kata penenang atau jawaban paling tepat setiap saat diperlukan.
Di bidang psikologi, keadaan tersebut dikenal sebagai
hypervigilance
, yakni kekhawatiran berlebih tentang atmosfer emosi yang ada di sekeliling kita. Berdasarkan studi dari
American Psychological Association,
Stres kronis semacam ini dapat mengakibatkan keletihan mental, menurunnya daya tahan tubuh, dan hingga masalah kegelisahan.
Seringkali, barulah kita sadar seberapa letih kita saat tiba-tiba pecah marah atau menetes air mata di dalam mobil. Pernah suatu hari kita fokus meredakan tegangan teman dekat akibat kesalahpahaman kecil, kemudian tanpa henti harus mendengarkan keluh kesah kolega kerja. Akhirnya, energi habis hanya untuk memelihara keseimbangan diri.
3. Membingungkan antara empati dengan terlalu banyak ikut campur
Pernah merenungi, “Apakah dengan tidak ikut menuntaskan permasalahan ini, saya dianggap tak memiliki rasa prihatin?” Garis pembatas antara kepedulian dan keterlibatan yang berlebihan sering kali sungguh halus. Rasa empati itu menyenangkan, tetapi jangan sampai membuat kita merasa wajib sepenuhnya untuk menerima emosi orang lain. Empati seharusnya lebih pada pemahaman serta pendampingan, daripada mengambil seluruh bebannya sendiri.
Sebagaimana dikatakan oleh John C. Maxwell, “Anda tak dapat memimpin orang lain bila Anda terlampau mengandalkan mereka.” Prinsip ini juga berlaku untuk hidup kita secara emosional. Kita tidak akan mampu mendukung orang lain dengan baik apabila kesejahteraan diri kita bergantung kepada suasana hati atau perasaan mereka.
4. Identitas pribadi yang perlahan memudar
Saat Anda terus-menerus memperhatikan perasaan orang lain, lambat laun Anda mungkin akan bingung dengan identitas diri sendiri. Kebutuhannya, kemauannya, hingga sifat-sifatnya pun dapat berubah hanya agar tetap tenang. Jika kita selalu mengekor dan mengorbankan kepentingan pribadi demi kenyamanan mereka, akhirnya kita malah tersesat dan kesulitan mencicipi rasa puas dalam hidup.
5. Ketakutan terhadap konflik
Jika Anda sudah biasa mengutamakan perasaan orang lain, perselisihan dapat tampak sangat menyeramkan. Akibatnya, Anda lebih condong pada pengekangan diri, menyimpan rasa sakit di dalam hati, atau bahkan menerima sesuatu yang sebenarnya tak Anda setujui, semua demi menjaga keharmonisan hubungan.
Terkadang, menyampaikan pandangan ketika situasi menjadi kurang nyaman dapat membantu mencegah masalah-masalah yang lebih serius di masa depan. Sebagaimana Seth Godin berkata, “Jika hal tersebut menakuti Anda, barangkali itulah alasan mengapa Anda harus melakukannya.”
6. Menyensor diri terlalu sering
Jika Anda pernah berkata dalam hati saat sedang bertukar pikiran, “Apakah gaya bicara saya terlalu kasar? Mungkinkan mereka merasa tersinggung? Seharusnya saya mengatakannya dengan cara yang lebih baik,” maka Anda mungkin sudah sering kali membatasi diri sendiri.
Daripada muncul dalam bentuk lengkap, kamu fokus memilah setiap perkataan supaya tak menyinggung siapun. Namun di penghujung hari, tidak semesta dapat puas. Dan jika kita terlampau waspada, gagasan-gagasan hebat justru bisa kehilangan pesonanya.
7. Beban rasa kewajiban yang terlalu besar
Menjadi seseorang yang dapat dipercaya adalah hal positif. Namun, jika Anda merasa sebagai satu-satunya yang mengatur keseimbangan emosi setiap orang lainnya, maka ini menjadi tanggung jawab yang luar biasa berat.
Orang-orang seperti ini biasanya berusaha mengatasi suatu permasalahan sebelum pihak lain menyadarinya. Namun, hal tersebut dapat membentuk ketergantungan. Pada akhirnya, orang lain menjadi bergantung karena selalu kita yang menanganinya. Seiring waktu, ketidakseimbangan dalam hubungan pun timbul; kita menjadi letih dan frustasi, sedangkan mereka makin bersandar pada kita.
8. Mengabaikan diri sendiri
Ancaman terbesar dari semua ini adalah ketika kita terlalu sibuk memperhatikan orang lain hingga melupakan untuk menjaga kesejahteraan diri sendiri. Stres yang tak tertangani dengan benar dapat berkembang menjadi kekhawatiran ekstrem, depresi, serta masalah-masalah fisik seperti migrain, sulit tidur, atau peningkatan risiko terserang penyakit karena imunitas yang lemah.
Jika kita selalu mengurangi nilai orang lain, kita pun secara tidak langsung meninggalkan aktivitas yang dapat membantu penyembuhan dan keseimbangan diri seperti berolahraga, mengejar hobi, atau bahkan hanya dengan istirahat yang cukup.
Jika Anda merasa menjadi “pengasih emosi” bagi banyak orang, pertimbangkan bahwa berempati sangat penting tetapi tak perlu dengan cara yang melemahkan diri sendiri. Anda pantas mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan kedamaian batin pula.
(*)