berita kacanginka
– Cerita kematian dan kebangkitan Yesus Kristus merupakan salah satu narasi terkenal tentang harapan, penderitaan, serta kemenangan dalam riwayat peradaban manusia. Seseorang pengrajin kayu asal Galilea, yang tak bernama bagi para penduduk Roma purba, berani melawan otoritas dengan keteguhan hati dan belas kasihan—meski akhirnya dia meninggal tragis di atas salib. Akan tetapi, sesuai kitab suci, baru dalam jeda tiga hari tersebut, Dia kemudian bangkit dari alam kematian dan merombak jagat raya ini selamanya.
Cerita ini telah menjadi dasar rohani untuk lebih dari dua miliar orang yang mengikuti agama Kristen di seluruh planet kita. Namun, para sejarawan dan ahli arkeologi memiliki pertanyaan lain: Hingga batas apa cerita tersebut bisa dibuktikan dengan bukti sejarah dan penemuan arkeologis?
Penyaliban: Kebenaran Yang Didukung Oleh Berbagai Referensi
Dalam perspektif historis, penyaliban Yesus merupakan elemen penting dengan dukungan berbagai referensi dalam kisah kehidupan-Nya. Surat-surat yang ditulis Rasul Paulus—yang merupakan dokumen terawal tentang penyembahan kepada Yesus pada rentang waktu 50-65 Masehi—telah merujuk langsung hal ini.
Keempat Injil kanonik mengandung informasi ekstra, serta beberapa penulis bukan Kristen pada abad ke-2 seperti Tacitus dan Lucian turut merujuk kepada penyaliban sebagai sebuah peristiwa bersejarah.
Menariknya, pada awalnya umat Kristiani ragu untuk mendepikan Yesus tergantung di salib. Namun, sebuah grafiti dari abad kedua yang ditemukan di Roma memperlihatkan gambaran seseorang bertubuh seperti manusia dengan kepala keledai yang disalib, lengkap dengan tulisan ejekan oleh orang Romawi tentang pemujaannya kepada “Tuhan”. Ilustrasi kritis ini mungkin merupakan wujud visual tertua dari Yesus — suatu ironi datang dari mulut seorang penolak atau pengkritik.
Tinta Jejak Jalan Salib: Perbedaan Antara Tradisi dan Sejarah
Tiap tahun, ratusan jamaah melintasi Via Dolorosa di Yerusalem—a venue seluas 600 meter yang dikenal sebagai jejak kesengsaraan Yesus, mulai dari pertrialannya sampai saat penyaliban-Nya. Akan tetapi, faktanya, kebanyakan jamaah mungkin tak menempuh tepat jalanan yang dilewati oleh Yesus sendiri.
Di Injil, Yesus menghadapi pengadilan di suatu lokasi bernama “praetorium,” istilah Latin yang merujuk pada kemah jenderal tentara Romawi. Para sejarawan kontemporer percaya bahwa praetorium tersebut berada di Istana Herodes dan tidak di Benteng Antonia—tempat tradisional dimulainya Via Dolorosa saat ini.
Dasar istana Herodes ternyata baru ditemukan pada tahun 2001, tepatnya bersinggungan dengan Museum Menara Daud di Yerusalem. Oleh karena itu, jalan yang dilalui Yesus mungkin cukup beragam dibandingkan dengan apa yang diperingati dalam kepercayaan agama.
Salib yang Dibawa: Berbeda dari Yang Ada di Layar Kaca
Setelah meninggalkan tempat pengadilan tersebut, Yesus diantarkan ke Golgota—yang berarti “tempat tengkorak” dalam bahasa Aram—di mana Dia akan disalibkan. Berdasar pada karya seni visual serta lukisan dari era Abad Pertengahan, gambarannya menunjukkan bahwa Yesus membawa keseluruhan salib. Namun, dengan pemahaman yang lebih realistik, hal ini sangatlah tak masuk akal.
Salib yang lengkap dapat memiliki bobot hingga 135 kilogram. Sementara itu, hanya bagian dari tiangnya saja (yang disebut
patibulum
) memiliki bobot kira-kira 35-40 kilogram. Penulis-penulis Romawi seperti Plautus juga menyinggung bahwa individu yang akan dihukum salib hanya menggendong crossbeam tersebut.
patibulum
, tidak melambangkan seluruh salib. Hal ini merubah bagaimana kita memvisualisasikan penderitaan Yesus—tetap berat dan menyakitkan, namun dengan detail-detail yang lebih cocok dengan latar belakang sejarahnya.
Golgotha dan Gereja Makam Suci
Tujuan akhir dari rute penderitaan ini adalah Gereja Makam Suci di Kota Tua Yerusalem, sebuah lokasi yang telah lama dipercaya sebagai tempat salib, kematian, pembaringan jenazah, dan kebangkitan Yesus.
Meskipun demikian, berdasarkan catatan sejarah, proses penyaliban biasanya tidak melibatkan paku. Kebanyakan orang yang dieksekusi dengan cara ini justru dikaitkan menggunakan tali. Hal ini mengundang pertanyaan: apakah Yesus memang diperlakukan dengan penggunaan paku, sesuai laporan dalam Injil?
Temuan tahun 1968 oleh arkeolog Vassilos Tzaferis membawa sinyal penting—dia menggali jejak tulang belulang laki-laki dari awal abad tersebut dan ternyata masih terdapat paku tertancap di pergelangan kakinya. Temuan istimewa ini semakin melembutkan dugaan bahwa pakunya memang dipergunakan, walaupun bukan merupakan hal biasa dilakukan.
Temuan mirip terjadi pada tahun 2019 di dekat Venice. Dua ini merupakan beberapa dari sedikit bukti arkeologi yang ada mengenai praktik salib dalam Kekaisaran Romawi, meskipun kita mempunyai berbagai catatan tertulis tentang hal tersebut, termasuk pemotongan massal penduduk penyokong Spartacus pada tahun 71 SM.
Kontroversi Tentang Lokasi
Gereja Makam Kudus diyakini pula menjadi lokasi penguburan Yesus. Menurut Injil Yohanes, area salib tersebut memiliki sebuh kebun, dan Yesus dikuburkan dalam sebuah kuburan perawan yang berada di kebun tersebut.
Akan tetapi, di akhir abad ke-19, beberapa kelompok Protestant mulai mencurigai asal-usul Gereja tersebut. Mereka ragu akan legitimasinya karena bangunan itu baru terdiri 300 tahun sesudahnya atas perintah Kaisar Konstantinus. Tambahan pula, tradisi agama Yahudi, Romawi serta Yunani purba tidak mendukung pemakaman warga mereka didalam batasan kota. Di zaman Tuhan Yesus sendiri, situs Gereja ini masih berlokasi diluar dinding Kota Yerusalem, namun dengan pertumbuhan perkotaannya secara bertahap, area ini pun selanjutnya masuk sebagai bagian integral dari kota tersebut.
Karena ketidakepastian ini, Charles Gordon—astronom dan juga pahlawan perang yang merangkap sebagai arkeolog Alkitab—menyarankan tempat lain: sebuah bukit kurang lebih setahun kilometer dari gereja itu sendiri, saat ini dikenal dengan nama Tumba Kebun. Penemuan oleh para ahli arkeologi seperti Gabriel Barkay di tahun 1986 menunjukkan bahwa tumba tersebut berasal dari periode Zaman Perunggu, jauh melewati era abad pertama Masehi. Selayaknya ucapan Andrew Henry, seorang pakar teologia, “Tiada lagi sarjana berpandangan kritis modern yang yakin kalau Tumba Kebun merupakan situs pemakaman asli bagi Nabi Isa.”
Sebuah penjelasan lainnya dipresentasikan oleh ahli Perjanjian Baru, Joan Taylor. Menurutnya, Gunung Golgota merupakan sebuah bukit lama yang terletak di dekat Gerbang Gennath, berada di bagian barat kota tersebut. Berdasarkan rutinitas Romawi, pelaku pidana sering kali dityalit di lokasi publik—seperti tepi jalan—untuk memastikan kematian mereka bisa dilihat dan juga sebagai peringatan bagi masyarakat setempat.
Inilah saatnya debat menjadi lebih memanas. Para pakar tertentu seperti Bart Ehrman dan John Dominic Crossan mengemukakan gagasan bahwa kemungkinannya cukup besar Jesus tak dikebumikan sepenuhnya. Menurut praktik Kekaisaran Romawi, mayat penjahat kerap ditinggalkan untuk bergantungan atau dibuang ke pemakaman bersama tanpa ritual apapun. Apabila hal itu yang berlaku pada kasus tersebut, maka keseluruhan cerita seputar kuburan hampa serta pencerobohan akan diragukan.
Meskipun demikian, sejarawan Yahudi Yosefus mencatat bahwa orang Yahudi sungguh-sungguh menghargai ritual kematian, termasuk bagi mereka yang dianggap sebagai pelaku kejahatan. Mereka berusaha membawa mayit ke dalam liang lahat sebelum senja tiba. Mengingat hukuman mati atas Yesus dilaksanakan mendekati hari Paskah, Gubernur Pilatus kemudian bisa saja merasa harus mengizinkan penguburan demi menjaga stabilitas sosial.
Mencari Makam Kosong
Apabila Yesus memang dikuburkan, kemana jenasahnya dipindahkan? Menurut Injil, Yusuf dari Arimatea—a seorang anggota dewan para Yahudi—mengajukan permohonan untuk merawat mayat Yesus dan mengentaskannya di sebuah kuburan pribadi yang baru saja ia bangun. Jodi Magness, seorang ahli arkeologi terkenal, menjelaskan bahwa skenario tersebut sesuai dengan temuan peninggalan arkeologi serta undang-undang agama Yahudi saat itu.
Banyak ahli pada akhirnya menyetujui bahwa apabila ada satu tempat yang kemungkinan besar cocok dengan cerita tentang penyaliban dan penguburan Yesus, maka Gereja Makam Suci merupakan calon utama terbaik.
Tentang Kebangkitan
Pertanyaan terbesar masih tersuspensi: Apakah Yesus memang telah kebangkitan?
Injil mengungkapkan bahwa tiga hari sesudah kepergian Yesus dari alam baka, liang lahatnya diketemukan tidak mempunyai mayit. Dalam beberapa riwayat di Injil, digambarkan malaikat serta perjumpaan dengan Yesus yang telah bangkit turut menjadi saksi. Pada zaman dahulu kuno, tak jarang mendengar legenda para dewa yang meninggal lalu bangkit lagi. Dewa-dewa semacam Osiris, Mithras, atau Dionysus memiliki sejarah mirip demikian pula. Kepercayaan akan adanya interaksi antara mereka yang sudah tiada dengan kita yang masih hidup juga lumrah terjadi pada masa itu.
Sebagaimana diuraikan oleh Meghan Henning, seorang profesor dalam bidang Perjanjian Baru, “Sekarang, apabila ada yang mengaku telah berkomunikasi dengan ibunya yang sudah wafat, kita cenderung merasa prihatin. Namun pada zaman dahulu, orang-orang justru akan menanyakan, ‘Oh benarkah? Apa kataannya?'”.
Akan tetapi, dari sudut pandang bukti, arkeologi memiliki keterbatasan. Saat makam di dalam aedicule Gereja Makum Kudus dibuka pada tahun 2016, tempat tersebut ternyata sudah kosong. Meskipun demikian, masyarakat Kristen abad keempat cenderung menganggap lokasi yang hampa itu penting untuk dikunjungi, tanpa peduli tentang aslinya.
Sebagian orang telah lama menduga bahwa tubuh Yesus diambil oleh seseorang. Orang lain mengklaim para murid hanya memiliki ilusi akibat kesedihan mereka. Ahli kontemporer pun menyarankan hal tersebut mungkin merupakan “penglihatan pasca-kesedihan”—suatu fenomena psikologi yang valid. Namun satu fakta yang tidak dapat dipungkiri ialah: sejak permulaannya, para pengikut Yesus yakin bahwa Dia berhasil bangkit dari alam kematian. Kepercayaan itulah yang menciptakan jejak dalam sejarah dunia.