Oleh: Fahrul Dason
Presiden Umum BEM FAI Unismuh Makassar
“Desain peluru tembus, gerakan moncong senjata panjang melintasi udara, angin berbisik” merupakan beberapa baris dari lirik lagu berjudul ‘Amarah’ yang mencatat lukanya sejarah di Bulan April Makassar Berdarah (‘Amarah’).
Lagu ini sudah memberikan kami semua kesempatan untuk memikirkan kembali seperti apa terjadinya peristiwa besar tersebut.
Walau demikian, kejadian itu sudah mulai terlupakan oleh banyak pelajar, suatu kali aku bertanya kepada seorang sahabat kita sambil berjalan di atas Jembatan Sungai Pampang: “Apakah yang kamu ingat ketika melihat aliran sungai ini?” Ia kelihatan pusing.
Ketika saya menyebut ‘Amarah’, dia tidak memiliki gambaran sedikitpun tentangnya.
Pengalaman tersebut tidak terisolasi—saya kemudian menemukan bahwa banyak mahasiswa yang sama sekali tidak menyadari tentang peristiwa tragis berdarah ini.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenang kembali kejadian pada bulan April tahun 1996.
Marah adalah sebuah insiden gelap yang terjadi pada mahasiswa di Universitas Muslim Makassar (UMI), institusi yang kini sudah mencapai usia 29 tahun. Mungkin bagi sebagian besar mahasiswa UMI, kejadian tersebut bukanlah hal baru lagi yang didengarnya.
Karena itu, setiap tahun mereka biasanya mengenangnya dengan melaksanakan protes jalanan, atau mendistribusikan flyer dan poster secara online sebagai bentuk penghormatan terhadap peristiwa tersebut.
Apabila setiap individu hanya memikirkan sejarah tahun 98, maka kejadian di Amarah menjadi titik tolaknya.
Saat krisis ekonomi menerjang Indonesia dan biaya transportasi publik meningkat, sejumlah besar pelajar serta mahasiswa mengekspresikan ketidaksetujuan mereka terhadap keputusan tersebut dengan menggelar protes.
Harus dikenali, tahun 1996 merupakan masa mendekati penghujung era Orde Baru. Mahasiswa mengalami tekanan politik yang sangat besar saat itu.
Pihak berwenang tidak ragu-ragu untuk menggunaka kekuatan fisik terhadap semua bentuk kritikan, terlebih lagi yang ada di area umum.
Oleh karena itu, protes terkait peningkatan tariff tidak hanya berkaitan dengan biaya, tetapi juga merupakan jalur untuk mengeluarkan kemarahan yang telah lama tertekan, yang pada akhirnya menyebabkan kematian dari tiga mahasiswa tersebut.
Tindakan tersebut kemudian berubah menjadi bencana darah yang mengakibatkan kematian para pelajar.
Di dalam karya tulis berjudul “Mencari Jejak Amarah” yang dikemaskan oleh Rasmi Ridjing Sikati alias Inka, sang jurnalis dari harian Tribun Timur Makassar ini paling tidak sudah menggambarkan bahwa insiden Amarah tak sekadar sebuah kecelakaan biasa, tetapi merupakan peristiwa di mana pasukan bersenjata menekan para mahasiswa dengan tindakan represif.
Insiden tersebut dimulai pada 23 April 1996 ketika banyak mahasiswa fokus untuk menyuarakan keprihatinan mereka terhadap peningkatan tarif transportasi publik. Aksi protes yang dijalankan oleh mahasiswa UMI dengan memegang kendali sebuah bus Damiru kemudian menjadi sumber konflik besar, menciptakan situasi dorong-men Dorong antara petugas berwenang dan para demonstran.
Akan tetapi, peningkatan jumlah petugas saat itu mendorong mahasiswa untuk bertahan di dalam kampus, sementara gas air mata justru menimbulkan amarah mereka terhadap pasukan bersenjata.
Mati yang Tak Wajar
Setelah peristiwa terjadi pada tanggal 23 saat para mahasiswa ditempatkan mundur oleh petugas, esok hari yakni Rabu, 24 April 1996, mereka turun lagi dengan latar belakang baru yang melibatkan kedatangan pasukan ke area kampus.
Pada hari tersebut pun kejadian kelam menimpa, dengan tiga mahasiswa diketahui meninggal dunia, ketiganya termasuk dalam catatan antara lain: Saiful Biya dari UMI, disiksa kemudian dibuang ke Sungai Pampang.
Mayat tersebut ditemukan dengan bekas pemukulan di dadanya dan lukanya pada bagian punggungnya.
Diikuti oleh Andi Sultan Iskandar yang ditemukan esok hari, juga dalam situasi sangat mengkhawatirkan: terdapat luka tusukan di dadanya dan kepalanya, bersama dengan memar merata pada seluruh tubuhnya.
Sementara itu, Tasrief Daming, yang merupakan korban ketiga, meninggal dunia akibat luka tusukan di lehernya dan memar pada wajahnya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Inka di dalam buku-nya, kematian mereka dipenuhi misteri di sepanjang tubuh. Mereka tidak hanya terendam.
Badan mereka menjadi saksi bisu dari lukisan tersembunyi.
Bukan hanya itu saja, pada kejadian di Amarah pula dicatat bahwa 29 mahasiswa lainnya mengalami pemukulan dari petugas berwenang.
Melewati peristiwa ini kemudian membuat kita teringat bahwa di antara rangkaian rekaman kelam masalah-masalah nasional saat ini, mahasiswa telah senantiasa menjadi barisan paling maju untuk memastikan bangsa ini tetap bugar.
Kejadian tersebut pun sudah cukup bagiku sebagai indikator bahwa selama 29 tahun sejak Amarah, negeri kita belum juga hadir dalam hal HAM.
Berdasarkan beragam tindakan yang diambil oleh para mahasiswa, mereka sering kali menghadapi perlakuan kekerasan fisik (abusive) dari pihak berwenang.
Seiring berjalannya waktu setelah kejadian yang kurang menyenangkan, kami berusaha menunjukkan bahwa melalui pemikiran kritis, masyarakat ini dapat berkembang bersamaan dengan tumbuhnya rasa hormat terhadap pendapat orang lain.
Sama seperti pada zaman dahulu saat para pemimpin nasional berselisih pandangan tetapi masih mempunyai visi serupa tentang kemerdekaan serta kesatuan negara.
Seperti yang disampaikan oleh Presiden Sukarno dalam karyanya berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” (1926), bahwa meski menggunakan jalur yang tidak sepenuhnya sempurna, kita harus dapat menerima; namun pada saat bersamaan kita juga perlu memberi.
Ini adalah kuncinya untuk mencapai kesatuan. Keserikatan tidak akan terwujud jika setiap pihak enggan memberikan sebagian kecil diri mereka sendiri.
Emosi mungkin sudah lupa oleh sebagian besar pelajar saat ini. Namun, sejarah tidak akan tinggal diam.
Dia menantikan kami agar memulai pembicaraan tentang masa lalu — supaya kita tidak terjerumus ke dalam lubang yang serupa untuk kedua kali. (*)