berita kacanginka
– Program studi Sains, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Bahasa akan dipulihkan pada tingkat sekolah menengah atas. Informasi tersebut dikemukakan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti baru-baru ini.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Mendikdasmen ini mendapat tanggapan dari para ahli pendidikan. Seorang di antaranya adalah Ahli Pendidikan dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (UB), Aulia
Luqman Aziz.
Dia berpendapat bahwa penerapan kembali pembagian jurusan menjadi sains, sosial, dan bahasa di sekolah menengah atas adalah suatu tindakan yang sesuai.
Menurut Aulia, selama proses pembelajaran berlangsung, hal itu secara bertahap akan menuju pada bidang ilmu tertentu yang dipilih oleh seseorang.
“Misalnya guru besar atau profesor, ilmunya sangat sempit tapi mendalam pada cabang ranting ilmu yang ditekuninya,” katanya.
Luqman berpendapat bahwa tahap pertama dalam mengkategorikan minat ilmu pelajar terjadi ketika mereka masih di tingkat SMA.
Secara sebenarnya, klasifikasi tersebut berasal dari tiga bidang ilmu utama yaitu sains hidup, ilmu sosial, serta seni dan humaniora.
Akan tetapi, dengan menggunakan mata pelajaran seperti IPA, IPS, serta Bahasa, langkah tersebut telah sesuai untuk merancang pola pikir klasifikasi di kalangan siswa.
Jerman telah lebih dahulu menerapkan peminatan untuk pelajar sekolah menengah atas.
“Negara-negara maju seperti Jerman pun mengelompokkan siswa SMA ke dalam jalur ilmiah atau vokasi sejak dini. Mereka memilih jalurnya mulai dari sekolah menengah atas. Negara kita sedang berkembang, mungkin dapat melaksanakan hal serupa,” ujar Luqman.
Menurut Luqman, penerapan kurikulum merdeka pada level SMA malah menciptakan tantangan baru.
Kebingunan dan hilang arah pun dialami oleh para siswa yang berencana menggeluti ilmu pengetahuan di jenjang perguruan tinggi akibat dari sifat umumnya pendidikan tersebut.
Walaupun maksud dari kurikulum itu adalah agar murid-murid dapat berpikir secara lintas disiplin ilmu, hal ini sebenarnya tidaklah sesuai karena bisa jadi menyebabkan perhatian mereka kabur.
Interdisipliner sesungguhnya merujuk pada kolaborasi kita bersama para ahli.
lainnya untuk mengatasi sebuah permasalahan,” imbuhnya.
Hingga saat ini, terdapat anggapan bahwa jika seorang siswa mengambil jurusan IPA, maka dia dianggap lebih cerdas dibandingkan dengan siswa yang memilih IPS atau bahasa. Akan tetapi, Luqman berpendapat bahwa pandangan tersebut adalah kesalahan.
Dia menegaskan bahwa hal ini merupakan tahapan untuk mengidentifikasi minat dan kemampuan khusus siswa dalam bidang ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, jika seorang siswa yang berada di jurusan sains ingin mempelajari ilmu pengetahuan sosial, itu diperbolehkan. Meskipun demikian, pembelajarannya harus bersifat mendasar dan tetap memiliki fokus tersendiri,” jelas Luqman. “Hal ini dapat dicapai melalui mata pelajaran pilihan.
Kesuksesan dari program ini sangat bergantung pada peningkatan pendampingan konseling bagi para siswa SMA, mengingat bahwa masa remajanya membuat mereka sering kali merasa kebingungan saat mencoba menetapkan pilihan serta mendefinisikan minat dan kemampuan diri mereka.
Pendidikan di Indonesia memiliki potensi untuk berkembang dengan baik.
Luqman juga menggarisbawahi bahwa kesejahteraan guru merupakan dorongan utama. Terlepas dari perubahan-perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia yang terus-menerus.
“Ketika seorang guru merasa puas dengan pekerjaannya sebagai pendidik, terlepas dari kebijakan apa pun yang ada, pikiran mereka akan tetap tangguh dan profesional karena tidak lagi mengkhawatirkan masalah ekonomi,” ungkap Luqman.
Luqman juga menginginkan agar TKA kedepannya melibatkan semua murid bukannya hanya didasarkan pada sampel sebagaimana yang terjadi dalam Asesmen Nasional tahun lalu.
Lebih baik lagi, jika Ujian Nasional diselenggarakan kembali karena bisa menimbulkan rasa urgensi pada siswa serta menyamarkanstandar pendidikan secara nasional.