Penanganan Hemofilia di Indonesia Kurang Optimal, HMHI Mendorong Akses Sama Rata


PIKIRAN RAKYAT

– Hari Hemofilia Sedunia alias World Hemophilia Day (WHD) 2025 dirayakan pada tiap tanggal 17 April. Tahun 2025 ini, perayaan tersebut sekaligus mengingatkan kita akan kurangnya pelayanan optimal terhadap pasien hemofilia.

Novie Amelia Chozie, Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), menyatakan bahwa pelayanan bagi penderita hemofilia di negara ini masih kurang memadai. Banyak insiden hemofilia hanya didiagnosis ketika pasien sudah mengalamai perdarahan hebat, hal ini dapat membahayakan dengan potensi timbulnya cacat tetap atau bahkan kematian akibat komplikasi yang muncul.

Menurut orang tersebut, saat ini kisaran hanya sekitar 11% dari perkiraan jumlah keseluruhan penderita hemophilia di Indonesia yang sudah didiagnosa. Ini mencerminkan bahwa masih ada banyak kasus yang belum ditemukan. Salah satu dampak berbahaya yang bisa timbul adalah munculnya penghambat, yakni antibodi yang memperlambat kerja terapi dengan faktor koagulasi darah.

“Hasil penelitian dari Unit Kerja Koordinator Hematologi-Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2022 mengungkapkan bahwa tingkat kejadian inhibitor faktor VIII pada balita penderita Hemofilia A di 12 kota utama di Indonesia tercatat sebesar 9,6 persen,” ungkapnya, Jumat, 18 April 2025.

Novie menyebutkan bahwa salah satu kesulitan utama dalam penanggulangan hemofilia di Indonesia adalah kurangnya distribusi layanan penyembuhan secara merata di setiap area. Layanan diagnosa serta perawatan cenderung lebih banyak ditemukan di perkotaan, sedangkan mereka yang berada jauh dari pusat permukiman tetap mengalami kendala dalam mendapatkan fasilitas medis. Kendala tersebut mencakup mulai dari kekurangan sarana prasarana, ketidakhadiran obat-obatan untuk meningkatkan kadar faktor pembekuan darah, sampai staf profesional kesehatan yang memahami kondisi kelainan perdarahan ini.

“Karenanya, sangat penting bagi kami untuk secara konsisten mensuarakan masalah ini guna memperbaiki deteksi dini dan penanganan Hemophilia serta kondisi pendarahan lainnya di Indonesia,” katanya.

Hemofilia adalah suatu gangguan perdarahan yang biasanya bersifat keturunan, dimana proses pembekuan darah menjadi kurang efektif. Kondisi tersebut bisa mengakibatkan adanya perdarahan secara spontan atau tak terduga, selain juga berpotensi menimbulkan perdarahan pasca cidera ataupun setelah menjalani beberapa jenis intervensi medis seperti pengecekan kadar darah, imunisasi, operasi bedah, dan masih banyak lagi.

Belum terdiagnosis

Berdasarkan data World Federation of Hemophilia, diperkirakan setiap 10.000 orang di seluruh dunia memiliki hemofilia. Akan tetapi, angka prevalensinya di Indonesia relatif lebih rendah dikarenai oleh banyaknya kasus yang belum didiagnosa. Berdasarkan statistik HMHI pada tahun 2024, hanya kisaran 11% penderita Hemofilia saja yang telah terdeteksi di negara kita, yaitu mencapai jumlah total 3.658 individu. Angka tersebut sangat berbeda dengan estimasi ideal yang harusnya mendekati 28.000 pasien.

Sebelumnya, hemofilia dipercaya hanya memengaruhi kaum pria dan anak laki-laki dengan gejalanya saja, sedangkan wanita sebagai “penyandang” gen hemofilia diasumsikan tidak menunjukkan tanda-tanda perdarahan. Akan tetapi, penelitian terbaru telah mendemonstrasikan bahwa banyak wanita dan gadis juga mengalaminya. Beberapa di antaranya berjuang melawan kondisi tersebut dalam waktu bertahun-tahun tanpa adanya diagnosa atau kesadaran akan kemungkinan mereka memiliki masalah perdarahan.

Di luar hemofili, masih ada berbagai macam kondisi perdarahan lainnya yang diketahui, seperti Penyakit VWD atau Von Willebrand—suatu kelainan genetik yang disebabkan oleh kurangnya protein von Willebrand dan biasanya sulit didiagnosa, khususnya pada kaum hawa.

Kurangnyanya pemahaman tentang masalah perdarahan cenderung menyebabkan pasien tidak menerima pengobatan yang sesuai. Sebenarnya, hemophilia dan VWD merupakan dua jenis kekurangan koagulasi genetik yang paling banyak ditemui, sehingga membuat mereka lebih rentan terhadap perdarahan. Banyak pasien dengan kondisi VWD pertama kali dirujuk ke departemen gawat darurat karena gejala-gejala seperti haid berlebihan, perdarahan setelah bersalin, serta timbulnya memar secara mudah.

Tantangan

HK, salah satu penderita hemophilia, menyebutkan bahwa terdapat masih banyak hambatan berkaitan dengan deteksi dini dan diagnosa penyakit hemophilia di Indonesia. Dia telah bertarung melawan hemophilia selama lebih dari 34 tahun dan sudah melewati beberapa jenis perawatan termasuk transfusi darah serta konsumsi obat-obatan yang mengandung konsentrasi faktor VIII untuk koagulasi darah.

“Dalam perjalananku, aku telah menemui banyak orang dengan hemofilia lainnya, termasuk mereka yang sudah menjadi dewasa serta anak-anak. Aku merenung tentang hambatan-hambatan pada saat diagnosis dan pengobatannya di negeriku sendiri, hal tersebut membuat bayi-bayi dan buah hati dengan kondisi ini terpapar risiko pendarahan parah bahkan bisa membawa kematian. Ini sungguh menyedihkan. Oleh karena itu, diperlukan semakin banyak gerakan pendidikan untuk meningkatkan kesadaran akan hemofila, tidak hanya bagi para dokter, staf medis tetapi juga kalangan luas,” ucapnya.

HK berharap bahwa di masa mendatang, penanganan hemofilia di Indonesia akan semakin meningkat. Dia ingin agar obat koncentrat faktor koagulasi tetap didanai oleh BPJS. Alasannya adalah karena obat tersebut telah dibuktikan sebagai metode yang efisien dalam penyembuhan serta mencegah pasien dari bahaya infeksi darah seperti hepatitis dan sejenisnya.

Pada sisi lain, SRS, seorang penderita penyakit Von Willebrand (VWD) yang berumur 17 tahun, menceritakan bahwa dia pertama kali dinyatakan positif memiliki VWD ketika masih berusia tujuh tahun. Pada waktu tersebut, ia mengalami pendarahan dari gigi serta gusi, disertai dengan adanya memar di beberapa area tubuhnya.

“Gejala yang lemah menyebabkan kondisi saya susah untuk dikenali dan tak tertangkap. Namun, pada akhirnya Von Willebrand Disease (VWD) berhasil dideteksi di sebuah rumah sakit milik pemerintah, dan sampai saat ini saya sudah mendapatkan perawatan yang cukup baik di tempat itu,” ucapnya.

Terapi dimulai dengan penggunaan cryoprecipitate, tranfusi darah, hingga pemberian terapi faktor. Dia menekankan bahwa kurangnya peralatan diagnosis serta pendidikan yang rendah menyebabkan pasien VWD tidak menerima pertolongan secara tepat waktu.

“Sehingga kedepannya, saya menginginkan bahwa VWD bisa semakin dikenali oleh publik supaya kondisi ini dapat didiagnosis dengan lebih awal dan mendapat perawatan yang lebih efektif; selain itu, harapannya adalah proses penyembuhan di Indonesia akan menjadi lebih sederhana, baik di rumah sakit milik negara ataupun sektor privat. Dengan begitu, para petugas kesehatan dapat melakukan deteksi dini, obat-obatan pun harus tersedia dan terjangkau,” ujarnya.

Shinta Caroline, Kepala Bisnis Satuan Kerja Penyakit Onkologi dan Penyakit Langka di PT Takeda Indonesia, mengungkapkan bahwa perjalanan para pengidap hemophilia beserta keluarganya dipenuhi dengan tantangan. Dia menegaskan komitmennya untuk menjadi mitra jangka panjang yang bertujuan meningkatkan fasilitas kesehatan mereka.

“Bersama-sama dengan HMHI dan tim medis, tujuan kita adalah untuk memperluas pemahaman publik tentang hal ini, supaya kondisi tersebut dapat diketahui sejak dini, di diagnosa secara akurat, serta penderitanya bisa mendapat penanganan yang tepat. Dengan begitu, perdarahan pada mereka yang mengidap hemofilia akan terkendali dengan baik dan tingkat keparahannya pun bisa diminimalisir,” jelasnya. (*)